Roma 12:21
Di dalam kehidupan, tiap-tiap orang bisa menerima perbuatan yang tidak baik atau jahat dari sesamanya. Demikian pula, seorang percaya di dalam kehidupannya, mau atau tidak mau ia akan diperhadapkan dengan perbuatan jahat orang lain terhadap dirinya. Jika hal ini terjadi pada kita, apakah orang Kristen diperbolehkan untuk membalas kejahatan dengan kejahatan? Mungkinkah mengalahkan kejahatan dengan kebaikan? Jika mungkin, bagaimana kita dapat mengalahkan kejahatan dengan kebaikan? Mari kita belajar tentang ini dari tulisan rasul Paulus.
Surat Roma ditulis Paulus ketika ia berada di Korintus meski ia sendiri tidak mendirikan jemaat di sana. Saat menulis surat itu, Paulus sedang mengorganisir pengumpulan dana untuk jemaat Yerusalem. Tindakan Paulus ini menyatakan kebaikannya yang peduli kepada keadaan jemaat Yerusalem (1 Kor 16:2-4; 2 Kor 9:1-5).[1] Kebaikan Paulus membuktikan bahwa ia seseorang yang kasihnya tidak pura-pura. Kualitas kasih seperti inilah yang menjadi modal dasar seseorang untuk bisa mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Sebab tidaklah mungkin seseorang mampu membalas kejahatan dengan kebaikan jika ia sendiri bukanlah orang yang baik. Tentu saja, baik yang dimaksud di sini adalah baik yang bersumber dari kasih Kristus, sebagaimana yang juga dimiliki oleh Paulus. Selanjutnya Paulus mendorong jemaat Roma untuk juga melakukan hal baik di tengah kejahatan yang mereka terima. Ketika itu, kondisi jemaat Roma (orang Yahudi) diperintahkan untuk meninggalkan Roma saat pemerintahan Tiberius (AD 19) dan Claudius (AD 41-54).[2] Mengalahkan kejahatan dengan kebaikan merupakan isi tulisan Paulus dalam Roma ps. 12, yang berbicara tentang kasih yang tidak pura-pura. Tulisannya ini menggambarkan kekuatan rohani Paulus yang bersumber dari Kristus dalam mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Karena itu berlanjut pada ps. 13, Paulus memberi contoh melakukan kebaikan dengan patuh kepada pemerintah, dengan tidak berbuat jahat melainkan bersikap hormat kepada pemerintah yang berhak menerimanya (13:1-7).
Sikap tidak membalas kejahatan malahan melakukan hal yang baik merupakan wujud nyata dari kasih yang tidak pura-pura. Paulus mendeskripsikan bahwa sikap orang yang tidak membalas kejahatan bahkan mengalahkannya dengan kebaikan merupakan tindak lanjut dari menjauhi apa yang jahat dan melakukan hal yang baik (Rm. 12:9). Pemikiran yang bertingkat ini menegaskan kepada kita bahwa kebaikan yang didasari kasih hendaknya jangan berhenti pada pemikiran untuk bersikap positif, melainkan lebih lanjut mengarahkan kita untuk melakukan perbuatan yang berguna dan bermanfaat bagi orang lain.[3] Jika kita melakukan perbuatan ini kepada orang lain maka ini ibarat lingkaran kasih yang mendorong orang lain itu melakukan perbuatan serupa kepada orang lainnya yang kelak akan diteruskan orang lain itu kepada orang yang lain lagi. Berarti perbuatan kita itu berdampak mempengaruhi orang lain dan orang lain lagi dan demikian seterusnya.
Paulus memerintahkan jemaat Roma untuk menaati perintah Allah untuk tidak membalas kejahatan namun melakukan hal yang baik kepada semua orang (ay. 17). Kebalikan dari perilaku kebanyakan orang yang membalas kejahatan dengan kejahatan, perintah ini merupakan seruan untuk tampil beda dengan melakukan hal yang berlawanan dengan arus. Perbuatan jahat yang dilakukan sebagai upaya pembalasan terhadap tindakan yang jahat, hendaknya jangan dibiarkan begitu saja. Hal ini sesegera mungkin harus ditanggapi dan diselesaikan dengan baik sebelum konflik meruncing dan perilaku jahat semakin menjadi-jadi sehingga dapat merugikan kedua belah pihak. Secara tegas Allah menginginkan kita untuk berhenti membalas kejahatan dengan kejahatan. Alkitab memberikan arahan bagi kita untuk menjauhi yang jahat sebelum kita terlibat di dalamnya. Namun jika ternyata ini tidak bisa kita hindari maka Allah menghendaki kita menaati perintah-Nya untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.
Perintah untuk berhenti membalas kejahatan dilanjutkan dengan seruan untuk melakukan hal yang baik. Perintah ini sekan-akan mendesak kita untuk bersikap progresif dalam menanggapi kejahatan. Dalam hal ini, keinginan manusia untuk membalas kejahatan dengan kejahatan digantikan dengan perintah Allah untuk membalas kejahatan dengan kebaikan. Intervensi Allah ditengah konflik dalam kehidupan kita perlu ditanggapi dengan serius. Sehebat apapun perlakuan jahat orang lain terhadap kita, Allah menginginkan kita untuk berhenti membalas kejahatan mereka dengan kejahatan dan justru kalahkan kejahatan dengan kebaikan.
Untuk mengerti bagaimana kejahatan bisa dikalahkan dengan kebaikan, kita perlu meneliti firman Tuhan pada ayat 17. Perintah “lakukanlah“ dilanjutkan dengan kata “apa yang baik bagi semua orang“. Di sini, kata “baik“ dikontraskan dengan kejahatan. Ini mengimplikasikan ada “pilihan“ bagi kita untuk me-“lakukan apa yang baik bagi semua orang“. Dengan demikian, Allah tidak semata-mata memerintahkan kita untuk mentaatinya seolah-olah kita tidak ada pilihan lain, sebab Ia memberikan kita pilihan berubah supaya kita mengetahui “apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna“ (ay. 2).
Pilihan kita untuk menaati perintah Allah dengan memilih untuk membalas kejahatan dengan kebaikan, diperkuat dengan himbauan Paulus yang menyatakan “sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang“ (ay. 18). Pada ayat yang sama, Paulus mengingatkan bahwa tindakan membalas kejahatan dengan kebaikan sebenarnya bergantung pada keputusan kita. Jika seseorang memilih membalas kejahatan dengan kejahatan, beberapa ayat Alkitab memberitahu kita, penyebabnya yaitu 1. Cemburu (Ams. 6:34); 2. Congkak/sombong (Mzm. 10:2; 1Raj. 22:24, 27); 3. Ukuran/pertimbangan diri sendiri (Mat. 7:1-5); 4. Dendam (Mrk. 6:19-24); 5. Merasa tersinggung atau tertegur (Kis. 5:33; 7:54-59); 6. Sakit hati dan marah (Kej. 34:7, 25).
Firman Tuhan mengajak kita untuk berpikir lebih jauh tentang reaksi membalas kejahatan dengan kejahatan. Reaksi ini sebenarnya tidak menciptakan kedaiamaian. Meskipun kita mengatakan memiliki damai dengan Allah di dalam Kristus Yesus, namun jika kita tidak hidup berdamai dengan sesama maka kita sedang membohongi diri sendiri. Pendamaian Allah dengan manusia terjadi ketika Yesus memilih untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahataan. Oleh karena itu, ketika kita mau memilih mengalahkan kejahatan dengan kebaikan maka kematian Yesus yang menebus kita tidak sia-sia. Sama seperti kematian Kristus yang mendamaikan semua orang yang percaya dengan Allah, maka kita pun hendaknya „mati“ dengan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan sehingga kita disebut anak-anak Allah yang membawa kedamaian.
Paulus menyatakan “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah karena pembalasan itu adalah hak-Ku” (Rm. 12:19). Dalam ayat 18-21 kata “pembalasan” dipakai 4 kali. Berarti kata ini penting artinya untuk kita perhatikan. Arti kata “pembalasan” dalam bahasa Yunani, berasal dari kata “ekdikeo”, Ek, artinya keluar sedangkan dikeo, artinya benar/kebenaran. Kata “pembalasan” berarti seseorang yang mengadakan perhitungan sendiri dan bersikap main hakim sendiri sebagai reaksi atas tindak kejahatan yang terjadi pada dirinya. Oleh karena itu, jelaslah bahwa tindakan membalas perbuatan jahat adalah tindakan di luar hukum. Kita tidak boleh melakukan pembalasan karena hal itu berada di luar hukum Allah dan pemerintah sebagai wakil Allah.
Sedangkan, dalam bahasa Ibrani, kata “pembalasan“ digunakan untuk pembalasan yang dilakukan oleh Tuhan dalam konteks yang berkaitan dengan keadilan dan kesucian-Nya. Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa Allah tidak menghendaki manusia melakukan pembalasan, karena kita sendiri tidak memiliki keadilan dan kesucian yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan manusia.
Selanjutnya, ay. 19 menyatakan, “Pembalasan itu adalah hak-Ku, Akulah yang akan menuntut pembalasan...“ Maksud firman ini nyata bahwa Tuhan meng-ingatkan bahwa kita tidak memiliki hak untuk melakukan pembalasan terhadap orang lain yang melakukan kejahatan dan sekaligus menempatkan diri kita sendiri sebagai hakim atas mereka. Mengapa tidak bisa? Kedudukan kita bukanlah sebagai hakim ataupun raja yang berwenang memutuskan hukuman apa yang setimpal untuk membalas perbuatan jahat seseorang. Meski demikian, kejahatan memang patut dihukum baik menurut Tuhan maupun hukum pemerintah sebagai wakil Allah (Rm. 13:4). Paulus mengingatkan status kita, katanya “ Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama.” (Rm. 2:1).
Lalu, apa tindakan kita terhadap orang yang telah berbuat jahat kepada kita? Firman Tuhan menyatakan,“Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan: jika ia haus berilah dia minum!“(Roma 12:20a). Di sini Firman Tuhan mengajarkan untuk selalu melihat kesempatan bagi kita untuk berbuat baik pada saat hal ini memungkinkan, khususnya kepada orang yang berbuat jahat terhadap kita. Peluang ini sangat besar karena Tuhan yang membuka kemungkinan tersebut supaya kita bisa melakukan kebaikan kepadanya. Bila saat itu tiba, Tuhan juga yang akan memberikan kemampuan kepada kita untuk melakukan kebaikan itu. Dampak dari kebaikan yang kita perbuat itu dahsyat sebab kebaikan yang di-lakukan oleh korban kejahatan kepada pelaku kejahatan mampu membawa seseorang kepada pertobatan.[4] Orang tersebut akan merasa malu seperti wajah seseorang yang ditumpukkan bara api di atas kepalanya (ay. 20b).
Alkitab tegas memerintahkan umat Tuhan untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Hal ini terdapat dalam Perjanjian Lama, seperti: Ams. 20:22, 24:2; Yes. 33:1. Dalam Perjanjian Baru, diantaranya: Rm. 12:17-19; 1Tes 5:15, perkataan Tuhan Yesus sendiri dalam Mat. 5:38-40 & Luk. 9:51-56. Paulus me-nyimpulkan pernyataannya tentang mengalahkan kejahatan dengan kebaikan yang bisa kita sebut sebagai prinsip Alkitab, yakni pada Roma 12:21 “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!“ Jadi, kemenangan seseorang terhadap kejahatan bukanlah ketika ia mengikuti keinginan hatinya untuk membalas kejahatan dengan kejahatan. Sebab kekalah-an terjadi justru ketika kita mengikuti niat yang menuntut balas dendam terhadap tindakan orang lain yang berbuat jahat terhadap kita.
Perlu diingat bahwa Paulus tidak menyatakan pembalasan Tuhan sebagai jawaban atas tuntutan kekesalan kita terhadap orang yang berbuat jahat atas kita. Sehingga kita tidak boleh memakai doa sebagai harapan agar Tuhan membalas orang yang berbuat jahat atas kita dengan hukuman seberat mungkin. Sebagai umat Tuhan, kita sedang mengalahkan sifat dan sikap jahat bukan pribadi orang yang berbuat jahat. Karena seseorang yang baik sebagai dampak anugerah keselamatan dari penebusan Kristus Yesus, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Kemampuan untuk mengalahkan dosa dan kejahatan telah diberikan kepada kita oleh Kristus Yesus. Sama halnya Kristus yang telah mengalahkan dosa, maka kita diberi kuasa untuk mengalahkan kejahatan. Sebagaimana Roma 5:17 menyatakan, “Sebab, jika oleh dosa satu orang, maut telah berkuasa oleh satu orang itu, maka lebih benar lagi mereka, yang telah menerima kelimpahan kasih karunia dan anugerah kebenaran, akan hidup dan berkuasa oleh karena satu orang itu, yaitu Yesus Kristus“. Sudahkah Anda mengalahkan kejahatan dengan kebaikan? Sekaranglah saatnya!
John O.H. Sihombing
Kepustakaan
Barclay, William. Roma - Pemahaman Alkitab Setiap Hari. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1986.
Bruce, F.F. The Epistle of Paul to the Romans: An Introduction and Commentary. Grand
Rapids, Michigan: Wm.B. Eerdmans Publishing Company.
Driver, Francis B.S.R dan C.A. Briggs, A Hebrew and English Lexicon of The Old Testament. Clarendon Press.
Dunn, James D.G., Word Biblical Commentary Volume 38B: Romans 9-16. Dallas:
Word Books, 1988
Cranfield, C.E.B., A Critical and Exegetical Commentary on the Epistle to the Romans,
The International Critical Commentary, T&T. Clark Limited, Edinburgh, 1975.
Pinson, William. The Word Topical Bible. Word Book Publishers.
Smick, Elmer. B. Theological Wordbook of the Old Testament. Peny. Um. R. Laird Harris. Moody Press.
Vine, W.E. Vine’s Dictionary. Word Publishing.
Walker, D.F. Konkordasi Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Zodhiates,, Spiros. The Complete Word study Dictionary of New Testament.
Chattanooga, Tennessee: AMG Publishers.
[1] William Barclay. hal. 10.
[2] FF. Bruce. hal. 13-14
[3] Penggunaan kata “baik” merujuk pada tindakan yang dapat memberi pengaruh bagi orang lain. Tindakan
tersebut dapat merupakan sesuatu yang abstrak, yaitu sesuatu yang berguna dan bermanfaat (Spiros
Zodhiates, hal. 62-63)
[4] Ungkapan “bara api diatas kepalanya” merujuk pada ritual Mesir ketika seseorang membuktikan pertobatannya dihadapan publik dengan membawa piring yang penuh dengan bara api di atas kepalanya. (F.F. Bruce, hal 230, Cranfield hal. 649-650 dan Dunn, hal. 750-751)