Minggu, 12 April 2009
Membasuh Kaki – Washing Feet (Bag. 5)
Budaya dan Kontektualisasinya.
Prinsip budaya dan kontekstualisasi sering menjadi masalah dalam penyebaran agama apapun. Kekristenan yang bertumbuh di Indonesia banyak didapati tidak subur dalam konteks kebangsaan sendiri. Pada masa lalu kekristenan kental dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya Barat – Eropah (Belanda dan Jerman), masa sekarang Kekristenan dipengaruhi oleh budaya Amerika, Korea dan Yahudi. Penyebaran itu bergerak dengan perlahan namun pasti. Maka tidak salah jika “membasuh kaki” merupakan “tradisi” yang dapat mengubah kelompok-kelompok tertentu, menghilangakn segi-segi budaya daerah dan bangsa, menggantinya dengan budaya Yahudi.
Masalah budaya dan kontekstualisasinya berkembang bagaikan “musuh“ yang dapat mengakibat-kan orang-orang percaya menambahkan ritual-ritual sebagaimana ritual dari gereja-gereja di masa lampau yang berpengaruh hingga masa kini. Bethel menyatakan, “The requirement by Jesus (not an "ordinance") for Christians to wash one another's feet is just as needful today, as a demonstration of true humility, as it was during His earthly ministry. But this must be considered within the context of the culture within which one lives. (This is a fine point to consider, and we should in no way let cultural norms dictate how we interpret truth revealed in Scripture. Wisdom from God is needed here as in so many other practical applications of Scripture.)”. Di Indonesia budaya membasuh kaki berlaku berlaku bagi sebagian besar orang, yaitu saat seseorang masuk ke ruang tidur di waktu malam. Kalaupun seseorang pulang ke rumah dari berpergian jauh, maka tidak ada air yang perlu di sediakan di depan rumah untuk mencuci kaki karena biasanya mereka akan membasuh kakinya di kamar mandi. Jika demikian, bagaimanakah kita menunjukkan keramahan, kerendahan hati dan pelayanan yang kita lakukan buat sseseorang yang mengunjungi rumah kita? Kita dapat membuatkan minum buat mereka tanpa melibatkan orang lain, bahkan pembantu kita. Kita dapat menjamu mereka dengan makanan dan ketika mereka pulang kita dapat mengantar mereka ke pintu gerbang. Namun sebaliknya, “If we as Christians live in a society in which the washing of feet is a practical need, then the service should be rendered perhaps as often as we have guests in our home. And we should be the ones to wash our guests' feet, not hired servants if we have any”. Kita tidak boleh terjebak dalam pelayanan yang kita tidak lakukan secara konsisten. Memaknai “pembasuhan kaki” merupakan tindakan yang seharusnya berlangsung secara terus menerus (bandingkan kata “berbuat” secara gramatika, p. 3). Bukan hanya proses fisik, tapi bathin dan tindakan kita sehari-hari yang menunjukkan kasih, kerendahan hati dan pelayanan bagiNya. Hendaknya kita tidak mempersempit pelayanan yang penuh kerendahan hati hanya dengan”membasuh kaki” orang lain, karena semua tindakan yang mendemonstrasikan kerendahan hati pasti mendtangkan kebahagiaan bagi kita (Yohanes 13:17).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar