Sabtu, 29 September 2007

Duduk disebelah kanan Allah Bapa: Mau?

Teks: Kisah para rasul 2:35
Ada seorang pemuda bertanya kepada temannya, apakah artinya “duduk disebelah kanan”Allah Bapa? Pemuda tersebut bertanya demikian karena ia ingin menguji dan menjatuhkan temannya. Karena itu, pemuda tersebut melanjutkan kalimatnya sebagai berikut: “Kalau Yesus disebelah kanan Bapa, maka disebelah kirinya siapa? Kosong dong? Kalau pertanyaan itu diajukan kepada saya, maka saya akan menjawabnya begini: Kamu MAU? Ha...ha...duduk aja kalau kamu yakin atas keberadaanmu dan keselamatanmu di surga.......hee...he... Kedua paragraph diatas adalah suatu ironi. 

Paragraph pertama mengemukakan ironi dari segi pengetahuan pemuda yang menguji temannya. Karena dengan membaca buku karangan Gorys Keraf di SMA atau pada masa perkuliahan seharusnya kita lebih berhati-hati tentang gaya bahasa dalam tulisan atau buku-buku yang kita baca dan tidak bergegas menguji orang lain. 

Paragraf kedua adalah ironi karena ada orang yang berkomentar terhadap sesuatu tanpa mengetahui kedudukannya dihadapan Tuhan secara jelas. Lebih baik bertanya daripada mem-beri komentar terhadap sesuatu yang tidak sepenuhnya kita dimengerti. Namun, mari kita tanggapi pertanyaan pemuda yang bertanya atau menguji temannya tersebut, karena mungkin itu menjadi pertanyaan bagi kita semua dihadapanNya. 

Pertama, kita perlu mengambil salah satu contoh ayat yang menggunakan kata-kata “duduk disebelah kanan“. Studi kata mengarahkan kita kepada kata “kanan“ dari kata Yunani “dexios“. Dexios atau kanan secara literal adalah kanan sebagai lawan dari kiri, tangan kanan atau disamping kanan. Kata “dexios“ bukan saja diartikan secara literal namun juga kiasan. Sementara itu, kata "duduk" diartikan dalam gaya bahasa tertentu. Alkitab dan buku-buku lainnya terkadang mengemukakan ide dari penulisnya dengan menggunakan gaya bahasa tertentu. Setidaknya ada tujuh gaya bahasa yang kita dapati dalam Alkitab, yaitu: metafora, simile, personifikasi, hiperbola, ironi, euphemisme, dan anthropomorisme. Kata “duduk“ yang digunakan memiliki gaya bahasa anthropomorisme. Gaya bahasa ini menggambarkan Allah sebagai pribadi yang memiliki keberadaan manusia atau anggota tubuhnya (Contoh lainnya: “carilah wajahNya selalu“ I Tawarikh 16:9). Anthropomorisme mengidentifikasikan atribut atau sifat yang melekat dari kedudukan atau kehadiran Tuhan. Spiros Zodhiates mengungkapkan studi kata "kanan" berdasarkan konteksnya sebagai berikut: “A person of high rank who puts someone on his right hand gives him equal honor with himself and recognizes him as of equal dignity“. Jadi “duduk disebelah kanan” merupakan kiasan (alegoris) yang menyatakan kedudukan Pribadi Yesus dan menempatkan diriNya sebagai Allah. Analoginya, jika saya menyatakan bahwa keponakan saya duduk dibangku SMP Kanisius atau SMA Pangudi Luhur, maka saya sedang berbicara tentang keberadaan sekolah mereka tanpa harus menyebutkan bangku ke berapa, kelas berapa dan wali kelasnya siapa? Jika sebuah pimpinan perusahaan besar mewakilkan dirinya dengan mengirimkan “tangan kanannya” maka segala hormat dan otoritas berada pada wakilnya tersebut. Namun perlu diperhatikan bahwa analogi pimpinan dan wakil tidak dapat diberlakukan sepenuhnya untuk keberadaan Allah, karena Ia tidak dibatasi oleh waktu dan tempat (Omnipresence). KehadiranNya tidak dalam dua pribadi (pimpinan dan wakilnya) yang tempat dan waktunya mungkin berbeda, melainkan secara bersamaan. Kehadiran dan otoritas Yesus di dunia secara bersamaan menunjukkan kehadiran dan otoritasNya di surga. Keterbatasan manusialah yang menunjukkan kelemahan dalam melihat perspektif ruang dan waktu Allah. 

Kedua, kita perlu selalu memperhatikan konteks. Kisah Rasul 2:35 tidak terlepas dari ayat sebelum dan sesudahnya. Pada ayat sebelumnya, yaitu ayat 30 menjelaskan janji Allah kepada Daud yang “telah mati dan dikubur, dan kuburannya masih ada pada kita sampai hari ini“ ay. 29. JanjiNya adalah “ Ia akan mendudukan seorang dari keturunan Daud sendiri diatas takhtanya“. Ia (Yesus) ditinggikan oleh tangan kanan Allah (ayat 33). Lalu ayat sesudahnya, ayat 36, memberikan kesimpulan atas maksud dari kata “disebelah kananKu“, dan “tangan kananKu“ dengan menyatakan: “Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus.“ Reflection: Apakah kita tahu pasti bahwa kedudukan Yesus disebelah kanan Bapa itu artinya kedudukanNya sebagai Tuhan dan Kristus, Yang Diurapi dan Juruselamat kita? Duduk disebelah kanan Bapa? Mau? Ngga deh....bukan kedudukan saya disana. It's all for His HONOR and GLORY. 

Catatan: Referensi kata "disebelah kanan" terdapat juga dalam Matius 20:21, 23; 22:24; 26:64; 27:38; Markus 12:36; 14:62; 16:19; Lukas 20:42; 22:69; Acts 2:33, 34; 5:31; 7:55,56; Roma 8:34; Efesus 1:20; Kolose 3:1; Ibrani 1:3,13; 8:1; 10:12; 12:2; 1 Petrus 3:22; 1 raja-raja 2:19; Mazmur 45:9. Kata “membuat“ (ay. 36) diatas diterjemahkan dalam bahasa Inggris to make, constitute, appoint. Bandingkan dengan Yohanes 6:15 yang menggunakan kata yang sama, “When Jesus therefore perceived that they would come and take him by force, to make him a king, he departed again into a mountain himself alone” (KJV). Jadi kata “membuat” bukan dalam arti “menciptakan” 

Bibliography 
Alkitab, Jakarta: LAI, 2001
Bible, New International Version (NIV)
Bible, King James Version Spiros Zodhiates, The Complete Word study New Testament, Chattanooga: AMG Publishers Spiros Zodhiates, 
The Complete Word study Dictionary, Chattanooga: AMG Publishers, p. 405, 1180 
Paul Pyle, Mastering Bible Study Skills. Colorado Springs: ACSI, 1999. p. 131d

Jumat, 21 September 2007

Berharga karena dikasihi Tuhan

Berharga di mata Tuhan kematian semua orang yang dikasihi-Nya. Ya Tuhan, aku hambaMu! Aku hamba-Mu, anak dari hamba-Mu perempuan! Engkau telah membuka ikatan-ikatanku! (Mazmur 116:15,16). Pernyataan pemazmur ini membuat kita bertanya, “Apakah situasi yang melatarbelakangi pemazmur? Pemazmur mengalami tekanan yang sangat yang berat. Ia mengatakan pada ayat 3 “tali-tali maut melilitku“, kemudian ayat 10 “aku ini sangat tertindas” sampai pada klimaks pada ayat 15 pemazmur memposisikan dirinya sebagai orang yang divonis telah mati.[1] Lalu bagaimana pemazmur menanggapi situasi tersebut? Ayat 11 menjelaskan seruan ke-bingungan pemazmur: “Semua manusia pembohong” Ketika seseorang menyatakan kata-kata tersebut dalam kebingungannya ada kesan yang muncul bahwa ucapan pemazmur tersebut berasal dari reaksi atas sikap orang lain yang tidak mengasihinya, tidak berlaku adil terhadap-nya dan merasa sayang padanya (kontras dari ayat 5). Apakah saat ini kita mengalami hal yang serupa? Adakah “kematian“ terjadi dalam hidup kita? Sesuatu yang melilit kita, membuat kita tertekan dan kecewa. Pada akhirnya pemazmur memberi tanggapan atas peristiwa yang menimpanya dengan mengatakan bahwa dirinya berharga dimata Tuhan. Bukankah sikap orang lain yang tidak mengasihi kita, tidak bersikap adil terhadap kita atau tidak sayang kepada kita dapat berujung pada rasa tidak dihargai? (Kontras dengan sikap Tuhan pada ayat 5) Lalu apa yang membuat seseorang dihargai? Kasih. Pemazmur ingin mengatakan kepada kita semua bahwa segala peristiwa, bahkan kematian tidak menjauhkannya dari kasih Tuhan (bandingkan Roma 8:37-39). Alah memandang kita semua berharga karena Ia mengasihi kita. Kata “dikasihi” (Chapets) digunakan sebanyak 32 kali dan 25 diantaranya ditemukan dalam Mazmur. Bahkan Mazmur 16:10 merujuk kepada yang kudus (Chapets), yaitu Yesus yang akan datang.[2] Jadi, menjadi orang yang dikasihi Allah sedemikian penting bagi kehidupan kita. Jika kematian orang yang dikasihi Allah dihargai-Nya, maka sesungguhnya kehidupan kita yang sementara ini juga berharga dimata Allah. Pemazmur bahkan memberikan pesan “tersembunyi – yang biasa tidak diperhatikan para penafsir – tampak bahwa teladan seorang ibu yang melayani Allah besar pengaruhnya terhadap iman anaknya. Hal ini berlaku pada zaman Perjanjian Lama dan sampai sekarang ini”.[3] Ayat 16 memperlihatkan kepada kita orang tua direpresentasikan bukan pada sosoknya tapi pengaruhnya bagi anak-anaknya. Kasih orang tua berpengaruh bagi seorang anak untuk mengenal kasih AllahNya. Allah yang lebih dulu mengasihi kita telah menunjukkan inisiatifNya melalui Yesus Kristus. Pertanyaannya, bagaimana dengan tanggung-jawab kita untuk saling mengasihi ditengah keluarga? Sudahkah kita dipakai Tuhan untuk membuka ikatan-ikatan dengan kasihNya? Sudahkah kita membuat oran lain berharga dengan mengasihi mereka? [1]Kata yang digunakan pemazmur“maweth“ juga diartikan sebagai kematian yang sesungguh- nya. AMG Publishers. The Complete Wordstudy Old Testament, p 2330 [2]AMG Publishers, The Hebrew-Greek Key Study Bible, 1984, p. 1593 [3]Marie Clarie Barth dan B.A Pareira, Kitab Mazmur 73 – 150, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997

Senin, 10 September 2007

Resensi Buku: Hikmat dan Hidup Sukses

Ada banyak buku tafsiran, pengantar kitab dan survey yang menjelaskan tentang pengenalan kitab dan latarbelakang sebuah kitab. Namun jarang sekali kita temui sebuah buku yang membawa pembacanya memahami secara menyeluruh tentang kitab tersebut. Disinilah keunikan buku Hikmat dan Hidup Sukses. Buku ini didukung oleh dua faktor tak terpisahkan yang menjamin buku ini tidak saja layak dibaca namun dimiliki oleh se-tiap pembaca Alkitab yang setia. Pertama, pengarang buku, yaitu Tremper Longman, yang mengajak pembacanya melihat ciri khas kitab yang sedang dibahasnya. Kedua, isi yang tidak direpresentasikan secara langsung, faktual dan objektif, bukan untuk dihafal atau sekedar pengetahuan yang menyatukan semua kepentingan untuk menjadi orang yang berhikmat dan berkemampuan untuk menafsirkan.

Semua orang yang ingin memahami Alkitab menurut konteksnya tahu nama Tremper Longman III. Ia seorang yang menekuni studi Biblika. Hal ini menggaris-bawahi ke-yakinan kita bahwa Longman III tidak sekedar membaca buku-buku pengantar tentang kitab Amsal (lihat Catatan-Catatan, hlm 216-222 dan bandingkan dengan Apendiks 2: Buku-Buku Tafsiran Amsal) namun menguasai kitab Amsal secara utuh dan menyeluruh.

Tremper Longman III mengungkapkan isi kitab Amsal dengan setia terhadap teks, yang meliputi kata –kata yang sering digunakan dan mewarnai bagian - bagian konteks kitab Amsal, seperti kata “hikmat” dan “jalan”, dsb. Buku ini juga berbicara tentang konteks yang meliputi bagian-bagian pasal, jenis dan bentuknya (bandingkan dengan karangannya yang lain, Bagaimana Menganalisa Mazmur), dan tema-tema penting di dalamnya. Cara Longman III menjabarkan Amsal sangat tidak mudah didapatkan dari buku-buku pengantar, survey, maupun tafsiran tentang kitab Amsal, apalagi dalam ter-jemahan Indonesia. Buku Hikmat dan Hidup Sukses merupakan sebuah frame untuk tidak sekedar mengenal secara luar kitab Hikmat Amsal namun juga memahami kitab Amsal secara mendasar, dalam dan bertanggungjawab.

Buku ini patut dimiliki oleh jemaat atau kaum awam yang ingin memahami Kitab Amsal tanpa harus menyita banyak waktu untuk mambaca banyak buku untuk memahami kitab Amsal dan memperoleh hikmat di dalamnya. Bagi mahasiswa teologi, buku dari kitab Amsal ini sangat baik untuk menjadi pegangan dalam pembuatan makalah, apalagi bagi mahasiswa yang sedang menulis skripsi atau thesisnya. Kemudian, buku ini sangat penting bagi hamba-hamba Tuhan yang mengalami kesulitan dalam memahami konteks kitab Amsal, ingin membuat PA ataupun khotbah dari Amsal, sampai pada masalah ke-terbatasan dalam dana untuk memiliki banyak buku-buku yang membahas tentang kitab Amsal. Karena buku ini sangat mewakili keinginan banyak pembaca, maka setiap pem-baca buku ini akan dibawa untuk semakin teliti dalam memahami Alkitab, peka terhadap bacaan-bacaan yang kurang berkualitas dan membantu pembacanya mengenali hikmat yang dinyatakan Tuhan kepadaNya. Akhirnya, buku ini menyajikan tentang kehidupan yang berpusat pada Tuhan. Bagi penulisnya “takut akan Tuhan” di didefinisikan sebagai sikap orang berhikmat yang harus membuka diri bagi peran mendasar Allah di dalam dunia dan kehidupan mereka (hlm. 13). Selamat membaca, membandingkannya dengan Alkitab anda dan mengalami perubahan hidup!

Pengarang : Tremper Longman III

Minggu, 09 September 2007

Character Building: Who build the character and who’s the focus? (Part 2)

Who's the focus?

Karakter tampak dari perilaku seseorang. Namun lebih dari itu karakter merupakan akibat dari cara memandang seseorang terhadap dirinya sendiri, orang lain dan Allah.

Disadari atau tidak, tiap-tiap orang tengah menggambarkan dirinya sendiri melalui keinginan hatinya. Keingin-tahuan seorang anak misalnya, membuat dirinya tidak saja melihat apa yang ada di depan matanya, namun juga melihat apa yang ada di sekitar-nya. Keinginan mata seorang dewasa yang datang ke mal tentu saja tidak hanya me-nemukan apa yang ditemukannya, namun juga memuaskan matanya walaupun tidak membeli apapun.

Jika bagian dari karakter anda adalah pembelajar, maka tidaklah heran jika orang lain akan menemukan anda berada di toko buku walaupun hanya sekedar melihat-lihat buku yang baru atau laris yang bertemakan tentang agama, pendidikan, komputer dan psikologi dsb. Anda akan mencari rak-rak buku bidang yang anda paling sukai dan buku-buku yang anda terlihat menggambarkan fokus kedatangan anda ke toko buku tersebut. Ketika saya mencari buku komputer maka fokus saya ialah kemampuan diri (agar tidak gaptek, kali); buku tentang agama maka fokus saya adalah meningkatkan hubungan dengan Tuhan; dsb. Karena itu, kedatangan anda ke toko buku mewakili keinginan hati dan ciri pembawaan anda (Character traits) sebagai seorang pembelajar (Learner). Jadi fokus anda yang menyatakan ciri pembawaan anda (karakter) muncul dari keinginan hati anda.

Di sisi lain, fokus seseorang dapat diarahkan oleh orang lain. Seorang pengendara motor misalnya, ia bisa saja sesukanya mengambil jalan tercepat baginya, namun jika dihadapannya ada seseorang yang sedang menyeberang maka kecepatan dan arah yang diambil akan berubah agar tidak menabrak orang lain. Jadi fokus seseorang tidak saja berada pada dirinya sendiri namun juga pada keselamatan dirinya sendiri, orang lain dengan memperhatikan rambu-rambu yang memberikan arah perjalanannya

Suatu waktu seorang pengajar berdiri dihadapan 17 (tujuh belas) anak remaja dan melihat kesibukan sebagian dari mereka yang sedang membaca sebuah buku yang wajib diselesaikan oleh mereka. Beberapa diantaranya mengeluh akan banyaknya halaman yang harus mereka baca dan isi yang tidak kunjung dimengerti. Seorang pengajar melakukan perannya dengan memberi saran agar pembacaan pertama kali dilakukan bukan untuk mengerti apa maksudnya, namun hanya untuk menyelesaikan buku tersebut. Setelah itu, diulangi sekali lagi, maka mereka akan mengerti maksud buku bacan tersebut. Keesokan harinya seorang remaja berkata kepada pengajarnya, “Pak, ternyata nggak susah koq. Saya membaca aja terus tanpa mengerti, eh…pas baca yang kedua langsung nyantol, pak..bener...Thanks, ya pak.” Sebenarnya apa yang terjadi? Perubahan itu dimungkinkan karena pembaca (anak remaja tersebut) tidak ter-fokus pada berapa tugas lain yang harus dikerjakannya atau berapa kali harus mem-bacanya (frequency), waktu atau kecepatan yang diperlukan dalam menyelesaikannya (duration) dan kewajibanya penyelesaian tugas tersebut (intensity). Disatu pihak, kita dapat mengatakan bahwa remaja tersebut memiliki hati yang mau dibentuk untuk men-jadi seorang pembelajar. Namun dilain pihak, kita melihat adanya peran seorang peng-ajar dalam mengarahkan nara didiknya untuk menjadi pembelajar. Jadi fokus seseorang dapat diarahkan untuk memunculkan sesuatu yang terbaik dalam dirinya.

Dari contoh-contoh di atas kita mendapati bahwa keadaan hati seseorang dapat menggambarkan karakternya dan saran yang diberikan orang lain berperan dalam me-ngarahkan karakter seseorang. Namun, permasalahan yang seringkali pelik dan bersifat sangat subjektif adalah tiap-tiap orang punya alasan di dalam hatinya yang secara sadar atau tidak membentuk karakternya. Apalagi hati seseorang tidak dapat dipaksakan untuk melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya. Pertanyaan bagi hati kita menuju karakter yang lebih baik semakin jelas “kamu mau merubah hatimu atau tidak”? Nah, pekerjaan berat ini, yaitu pekerjaan merubah hati untuk dapat membangun karakter yang baik memerlukan cara pandang yang terfokus pada Tuhan. Yesaya 6:1-13 meng-gambarkan karakter Yesaya dan peran panggilan Allah terhadap hidup Yesaya. Pertama, ayat 5 menjelaskan kepada kita bahwa karakter Yesaya digambarkan dengan bibir yang najis dan bertentangan dengan kekudusan Tuhan (ay. 3b). Ayat 3b men-jelaskan bahwa lingkungan kehidupan Yesaya turut berperan dalam membentuk karakternya sebagai pendosa. Karena itu, pada ayat 7 peran Allah terpenting dimulai dari penyucian bagi dosa-dosa Yesaya. Disini kita menemukan bahwa peran Allah dalam karakter memenuhi aspek penyucian hati seseorang sebelum karakter dibangun oleh Tuhan. Hati yang keras pun menjadi lembut. Kedua, ayat 8 menegaskan panggilan Allah yang menentukan fokus hidup Yesaya. Allah menyatakan,” “Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?“ Allah menginginkan hati Yesaya yang mau diutus dan bersedia melakukan tujuanNya. Allah menginginkan Yesaya terfokus pada Tuhan (Aku). Karakter Yesaya yang najis bibir diubahkan bukan saja dari hati namun juga tujuan hidup yang diberikan Allah padaNya, yaitu menjadi Nabi, seseorang yang menggunakan bibirnya untuk menyatakan FirmanNya.

Saat ini, Tuhan berkata kepada anda “Aku mau hatimu berubah dan mengarahkan-mu pada tujuanKu, kamu mau atau ngga? Percayalah jika kamu mengaku dosa-dosamu yang telah ditebus oleh darah Yesus maka Allah akan menyucikan dirimu (bandingkan I Yohanes 1:9). Ijinkan hanya Dia yang menjadi fokus hidupmu dimana karaktermu akan dibentuk, diarahkan dan dipakai oleh Tuhan sesuai rencana-Nya.

Kamis, 06 September 2007

Character Building: Who build the character and who’s the focus?

Ketika kita bebicara tentang Character Building atau disingkat CB, maka hal pertama yang perlu ditanyakan adalah siapakah yang membangun karakter seseorang, kemudian siapakah focus atau idol (bukan idolatry, ya) dari karakter yang kita ikuti. Dari kedua pertanyan tersebut kita tahu, apakah CB itu ada sangkut pautnya dengan iman Kristen atau tidak.

Who build the character?

Kata “building” membawa kita kepada definisi operasional, yaitu: usaha membangun sesuatu. Sebuah bangunan yang tampak baik, misalnya rumah, bukan saja tampak megah dari luarnya namun perlu di dasarkan oleh siapa yang membangun, siapa terlibat dalam membangunnya dan apa dasar bangunan tersebut. Zaman dulu orang-orang mencari rumah berdasarkan tanah dan lokasinya, sekarang orang-orang banyak menyadari bahwa pengembang lahan perumahan merupakan faktor utama. Artinya, siapa yang membangun atau perusahaan apa yang membangunnya dianggap menjamin kualitas rumah itu. menjadi faktor yang lebih utama dari dari dasar bangunan yang ada.

Itu tentang rumah. bagaimana dengan manusia? Siapa yang membangun karakter seseorang? Jika CB diartikan sebagai usaha manusia belaka dalam membangun karakernya, maka sia-sialah usaha manusia tersebut (bandingkan dengan ayat yang berkata, “Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah sia-sialah usaha orang yang membangunnya“, Mzm 127:1). Ada peran Allah yang nyata di dalam semua kegiatan manusia, apalagi Tuhan adalah Ahlinya dalam mengubah karakter seseorang. Lihat contoh seperti Saulus (artinya, besar) yang dipanggil Tuhan menjadi Paulus (artinya, kecil); Yakub (artinya, penipu) menjadi Israel (artinya, bergumul dengan Allah). Tuhan tidak sekedar merubah nama, tapi karakter tokoh-tokoh dalam Alkitab.

Di lain pihak apa yang dinyatakan Firman Tuhan tentang “rumah“ sebagai tempat berteduh, bercengkrama, berbagi kasih bukan saja mengenai aspek personal tapi juga proses interpersonal yang terjadi di dalam rumah tersebut. Jika menyinggung aspek personal dan interpersonal maka aspek “siapa saja yang terlibat dalam mendirikan “rumah“ itu menjadi lebih luas lagi. Disinilah aspek psikologis tampak dalam pengalaman yang dimiliki seseorang, ciri pembawaannya (trait), dan institusi yang memampukannya memiliki pengalaman dan ciri pembawaan yang postitif (Lihat kutipan). Seluruh peran serta orang-mulai dari orang terdekat (orangtua), saudara kandung, teman atau sahabat, gereja, sekolah dan lingkungan (neighborhood), bahkan pemerintah diperlukan untuk mem-bangun karakter seseorang.

Hal yang terakhir namun bukan yang akhir adalah dasar karakter yang ada. Seperti yang telah disinggung diatas bahwa fondasi dimana karakter itu didirikan juga penting. Fondasi ini disebut iman Kristen, yakni apa yang dipercayai seseorang dalam mem-bangun karakternya maupun interaksinya dengan orang lain sangat mempengaruhi perilakunya sehar-hari. Disini iman Kristen berbicara tentang kasih dan kuasa yang menjadi dasar karakter yang kokoh. Kasih dari Kristus yang lebih dululu mengasihi kita dan kuasa FirmanNya yang mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran memperlengkapi karakter seseorang untuk melakukan setiap perbuatan baik (2 Timotius 3:16).

Character Building Teacher

John O.H. Sihombing

Edited by D. I. Katoppo

Resources

Alkitab LAI 2001

Christopher Peterson and Martin E.P. Character Strength and Virtues, Seligman, Oxford University, 2004.

Next: Who’s the focus?

“Positive psychology focuses on three related topics: the study of positive subjective experiences, the study of positive individual traits, and the study of institutions that enable positive experience and positive traits” (Seligman and Csikzentmihalyi, 2000) taken from the Character Strength and Virtues, Christopher Peterson and Martin E.P. Seligman, Oxford University, 2004.

Selasa, 04 September 2007

Makam Yesus: Kontroversi atau Sensasi?

Para Pembuat Sensasi dari Makam Keluarga Yesus

Temuan makam Yesus tidak lepas dari para pembuat sensasi di berbagai belahan dunia. Film dokumenter yang pertama kali ditayangkan pada Minggu Paskah tahun 1996 menggunakan momentum perayaan Paskah sebagai cara menarik orang untuk menghasil-kan sensasi. Perkembangannya sekarang para pembuat sensasi masih melakukannya pada masa pra-paskah atau paskah agar menarik perhatian orang banyak terhadap kajian mereka yang subjektif. Mengapa kita dapat mengatakan subjektif?

Temuan kuburan yang bertuliskan nama-nama yang ditulis di dalam Alkitab bukanlah nama yang asing bagi orang-orang Yahudi pada zaman itu. Pertama, nama Yesus menjadi nama yang sangat terkenal karena nama ini memiliki akar Ibrani yang sama dengan nama Yeshua atau Yosua yang kita kenal dalam Perjanjian Lama. Ada 21nama Yeshuas dikutip oleh Yosephus,seorang sejarahwan Yahudi dan menurut Dr. Evans ada 100 makam yang bernama Yesus dan 200 makam bernamakan Yusuf. Stephen Pfann seorang sarjana dari Universitas Holy Land di Yerusalem menyebutkan bahwa tidak terdapat nama Yesus yang ditulikan secara jelas, bahkan nama tersebut lebih dekat dengan nama Hanun.

Demikian juga nama Maria, nama ini digunakan hampir satu diantara empat wanita pada masa itu. Alkitab setidaknya memberikan kepada kita bukti penggunaan nama “Maria” terhadap wanita-wanita pada masa itu, yaitu: Maria ibu Markus, Maria dari betania, Maria ibu Yakobus dan Yusuf dan Maria ibu Yesus. Dr. Evans menyatakan bahwa nama kuburan Maria ditemukan lebih dari makan yang bernama Yesus dan Yusuf. Lagipula penggunaan nama Maria di dalam makam tersebut diterjemahkan Mariamene bukan Maria Magdalene. Seorang sarjana Perjanjian Baru menyebutkan bahwa penggunaan nama Magdalene menjadi Mariamene digunakan pada than kelahiran 185, jadi jika tidak mungkin nama tersebut digunakannya pada saat ia meninggal. Lalu jika DNA Mariamene itu berbeda dengan “Yeshua”, mengapa kesimpulannya ia menikah dengan Yeshua? Mengapa Yesus menamakan anakNya Yudas orang yang mengkhianatiNya? Lalu, apakah maksud pembuat sensasi yang menterjemahkan nama Matia menjadi Matius?

Siapakah pembuat sensasi?

Pertama Hershel Shank. Seorang editor Biblical Archeology Review bukanlah satu-satunya orang kondang yang namanya bisa menjamin pekerjaannya selain dari kemampuanya dalam mengedit sebuah cerita. Dr. Craig Evans, PhD penulis Jesus and The Ossuaries menyatakan setidaknya ada 35 orang yang berbeda dari tulang-tulang yang dibawa keluar dari makam, dan kira-kira separuhnya merupakan tulang-belulang yang asli dari makam ini. Karena itu ia mencatat bahwa telah terjadi kontaminasi dari penggalian ini.

Kedua, Andrey Feuerverger seorang pengunna statistic yang dipekerjakan oleh Cameron dan Jacobovici mengakui bahwa asumsi perkiraan stastitiknya diberikan oleh Jacobovici dalam wawancara yang dilakukan oleh Scientific American.

Ketiga, kolaborasi pembuat film. Simcha Jacobovici yang membuat film TV “Exodus” yang mempertanyakan kembali tentang Keluaran di dalam Perjanjian Lama berkolaborasi dengan pembuat film “Titanic”, James Cameron. Keduanya bukanlah seorang peneliti namun seorang pengembang cerita untuk sebuah film yang dilakukan menurut perspektif seorang sutradara film. Apakah kita perlu mempercayai pembuat-pembuat film ini untuk menyatakan siapakah Yesus?

Ketiga, orang-orang yang membuat kesalahan pendapat. Prof Yuval Goren telah melakukan tes isotop yang membuktikan tuduhan pemalsuan inskripsi “saudara dari Yesus” atas Oded Golan pada Osuarium Yakobus. Namun, pendapat Goren berubah dengan menyatakan bahwa dua huruf dari nama “Yeshua” itu asli. Apakah pendapat Goren layak dipercaya? Hal ini mengingat perubahan pendapat yang dilakukannya dan hanya dua huruf yang dihubungkan dengan nama “Yeshua”. Proses dari pendapat Tabor dan Jacobovici tentang hubungan makam Talpiot dan Yakobus masih perlu dipertanyakan, karena bagaimana terjadinya kontaminasi dari makam Talpiot belum dapat menghubungkan keluarga Yesus, apalagi menghubungkannya dengan Yakobus.

Keempat, orang-orang yang tidak menggunakan konteks Alkitab sebagai bukti sejarah. Analisa terhadap Alkitab dilakukan oleh “teolog modern” dengan tidak mengembangkan konteks sejarah Alkitab. Konteks sejarah Alkitab mempertanyakan: mengapa makam keluarga Yesus ditemukan di Yerusalem bukannya di Nazareth? Kita tahu bahwa Ia disebut sebagai Yesus dari Nazareth. Bukankah ini sudah melanggar konteks penguburan orang-orang Yahudi pada masa itu? Apakah murid-murid yang dalam pengejaran (bandingkan tindakan Saulus yang mengejar orang Kristen) dan murid-murid yang dilatih oleh Yesus untuk tidak membawa harta benda yang berlebih mampu menyediakan makam ekslusif bagi keluarga Yesus di Yerusalem? Joe Zias seorang peneliti abad pertengahan dan anthropologist biblika menyatakan klaim Cameron’s tentang lokasi makam Yesus sebagai ketidaktulusan.

Selain itu, bukti internal atas penjagan para serdadu dan laporan para serdadu tentang kuburan Yesus yang kosong tidak dicatat sebagai bahan kajian. Fakta sejarah membukti-kan bahwa tidak ada catatan baik yang ditulis oleh sejarawan Roma maupun Yahudi tentang tubuh Yesus yang dicuri atau tentang kuburan yesus itu sendiri. Lagipula, mengapa para Rasul memberitakan kebangkitan Yesus dengan berkobar-kobar jika Yesus tidak sungguh-sunguh bangkit? Dapatkah perempuan-perempuan saksi kebangkitan Yesus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kesaksiannya dengan menyediakan kubur bagi keluarga Yesus? Jika Jack Finegan menyatakan bahwa pusat gerakan mesianik adalah Yerusalem, apakah berarti bahwa Yesus dikubur di sana? Bukankah Yesus sendiri yang menyatakan bahwa kesaksian murid-murid dimuai dari Yerusalem? Kisah Para Rasul 1:8.

Asumsi bahwa Yesus mungkin punya anak disusun berdasarkan bukti-bukti yang tidak sesuai konteks dan pra-paham yang sudah dibangun dan akhirnya mencari ayat-ayat yang mendukung paham tersebut. Jika ada “seorang muda” berlari dengan telanjang, maka Markus 14:51-52 tidak menyebutkannya sebagai anak Yesus. Kisah Para Rasul menyebutkan Maria ibu Yesus bertekun dalam doa bersama saudara-saudara Yesus (Kis. 1:14). Kemudian sebelum kematianNya dikayu salib, Yesus tidak menyebutkan anakNya tapi muridNya untuk menjaga ibunya (Yohanes 19:27). Memperhatikan Markus menulis-kan tentang anak muda ini, kita mendapatkan bagaimana ia melukiskan peristiwa sekitar penangkapan Yesus, bukan sesuatu yang secara historis langsung merujuk kepada anak Yesus. Pra-paham terhadap kritik historis yang menekankan sejarah sebagai fakta namun bukan sebagai cerita dijalin untuk menyatakan bahwa “anak muda” itu mungkin adalah “anak Yesus”. Analisa yang memandang sejarah tidak berimbang dengan apa yang diceritakan penulis telah menghapus kaitan erat konteks urutan peristiwa yang disajikan oleh penulis Alkitab tersebut. Artinya, seluruh tulisan tersebut tidak dapat diketahui apakah benar-benar terjadi, menjauhi objektivitas historis dan tidak rasional. Implikasi-nya, untuk apakah Yesus datang kedunia? Jika kita benar mengamati rangkaian peristiwa yang terjadi, maka kita akan menjawab untuk menyelamatkan manusia. Namun, jika kita melakukannya secara terputus, maka kita akan menyatakan bahwa Yesus datang untuk kawin-mawin dan menjadikanNYa pemberi makna bagi hidup orang yang percaya pada-nya.

Penutup

Makam keluarga Yesus perlu dicermati dalam tiga hal; Pertama, peneliti kubur Yesus tidak menempatkan Alkitab sebagai salah satu sumber positif. Peneliti tentang kubur Yesus lebih menggunakan bahan-bahan di luar Alkitab. Kedua, tampak sekali rangkaian yang hanya dibangun oleh pra-paham terhadap penemuan yang ada. Ada logika subjektif dan kritik historis yang melupakan sisi kritik narrative dalam cerita yang disampaikan oleh penulis Alkitab. Ketiga, secara teologis tampak dasar gnostik modern yang memberi makna baru dengan memisahkan tubuh Yesus dengan RohNya sebagai “tubuh rohani”. Akhirnya, penulis artikel ini ingin menyatakan bahwa logika subjektif dan buku-buku bacan yang tidak berimbang mengakibatkan seseorang menjadi peneliti yang menjual sensasi dan akhirnya menjual Yesus.

John O.H. Sihombing

Guru Biblical Studies

Sumber

John Drane. Memahami Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996, hal. 229-246.

Paul L. Maier. The Jesus Family Tomb. Michigan: Departement of History Western Michigan University Kalamazoo. February 27, 2007

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0704/Bentara/3429797.htm

http://y-yesus.com/prin_pages/tomb_print.htm di print tanggal 3/9/2007

Sabtu, 01 September 2007

Kontradiksi Pertobatan Paulus: Masa sich?

Kontradiksi Pertobatan Paulus: Masa sich?
Ada beberapa hal yang diperlukan untuk membedah tiap masalah teks yang ada:
Pertama, apa sumbernya. Kita perlu mengetahui bahwa tulisan tersebut adalah hasil terjemahan dari informasi internet (http:www.answering-islam.com/sami_zaatri/problemofPaul.htm), penulisnya adalah Sami Zaatari. Sayang sekali blog (http://datakristen.blogspot.com/2007/08/kontradiksi-paulus-bertobat.html) yang mencantumkan hasil kerja orang lain tersebut tidak menuliskan darimana sumbernya (sampai hari ini Minggu, 2 September 2007, 9:15 WIB). Dia hanya menuliskan Sumber: The Problem of Paul oleh Problem of Paul. Ini menegaskan ketidakjujuran atas hasil karya orang lain dan bukan sebuah karya penemuan berdasarkan penelitian yang ada. Lalu apakah Sami Zaatari juga sudah melakukan research yang ada? Setelah saya cek ternyata hanya ulasan dan sanggahan atas Alkitab bukan hasil penelitian yang mendalam. Sanggahannya tidak menggunakan sumber lain yang digunakan sebagai pembanding. Sebagai orang yang terlibat dalam bidang akademis sebenarnya dari fakta ini saya sudah agak males menanggapinya. Dasar saya perlu menaggapinya karena salah seorang pemuda yang berdedikasi terhadap kebenaran Firman Tuhan bertanya kepada saya. Kedua, siapakah penyanggahnya. Penyanggah kebenaran Alkitab menyatakan bahwa ada kontradiksi pertobatan Paulus dinilai dari ayat yang digunakan dalam Kisah 9:1-6; Kisah 22:5-10 dan Kisah 26:12-18. Tuduhannya dalah “Pendeta Kristen mengedit Alkitab”. Menurutnya jika kita membaca Kisah 26:12-18 setelah membaca Kisah 9:1-6 maka tampak “pendeta Kristen mengedit Alkitab dengan cara menghapus sebagian isi kalimat Kisah 9:6. Menjawab pertanyaan ini kita perlu mengenal latar belakang ke-percayaan penyanggah. Dengan segala hormat dan tidak mau menyinggung agama, maka kita dapat mengetahui bahwa latar belakang penulis adalah orang yang percaya bahwa kitab suci itu harus tulisan yang di dikte langsung dari surga. Jadi kepercayaan (system of belief) itu memang diajarkan di berbagai aliran agama agar percaya betul bahwa kitabnya sucinya dan langsung diturunkan dari surga sehingga secara literal tiap kata harus sama. Sayang sekali Alkitab bukan kitab yang diturunkan atau jatuh dari surga, melainkan ditulis oleh penulis yang telah diinspirasikan oleh Roh Kudus. Tuhan memakai penulis berdasarkan pengalamannya dan rangkaian peristiwa yang sedang terjadi dalam hidup penulis. Tuhan tidak memperlakukan penulis kitab (manusia) se-bagai robot. Jika kita memperhatikan kitab Kisah para rasul maka kita dapat me-ngetahui bahwa Kisah ditulis juga berdasarkan data-data yang dikumpulkan, Kisah adalah hasil penelitian penulisnya. Lukas menyusun peristiwa-persitiwa yang telah terjadi(1:1), ia mengumpulkanya dari saksi-saksi mata (1:2), dan melakukan peyelidikan atas segala peristiwa-peristiwa tersebut (1:3). Semuanya ini ditulisakan dalam bukunya yang pertama, yaitu Lukas (Lukas 1:1-4 bandingkan Kisah 1:1-3). Sistem kepercayaan yang mengikuti penafsiran penyanggah tampak lagi ketika dirinya menyebutkan adanya kontradiksi antara Kisah 9:1-6 dengan Kisah 26:12-18. Kontradiksi berada dalam kalimat yang tertulis dalan Kisah 9:6 dengan tidak menyebutkan apa yang akan dilakukan oleh Paulus sampai ia tiba di kota Damsyik sementara pada Kisah 26:16-18 Paulus menceritakan apa yang akan dilakukannya atas perintah Tuhan. Kekristenan bukan berdasarkan pada apa yang harus dilakukannya tanpa ada tujuan yang jelas. Jika kita perhatikan pada Kisah 26:16 (KJV) dinyatakan, “for I have appeared unto thee for this purpose…to make…to open….”. Disini memperlihatkan Tuhan Yesus menyampaikan secara jelas tujuanNya bukan langkah-langkah perbuatan atau tindakan yang akan dilakukan oleh Paulus. Kekeristenan mengajarkan seseorang untuk memiliki tujuan bagiNya dan menyerahkan langkah-langkah dalam kebergantungan denganNya. Jika kita membaca kelanjutan cerita dalam Kisah 9:10-16 maka tampak dengan jelas bahwa Tuhan sendiri yang mengarahkan perjalanan Ananias (ayat 11 dan 15) dan Tuhan juga yang memeberikan penglihatan kepada Paulus tentang kedatangan Ananias (ayat 12). Sebelum kepergian Ananias Tuhan memperjelas apa yang akan terjadi kehidupan Paulus dalam kalimat “Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya….” Jika kita membaca terus perjalanan Paulus maka kita akan diperlihatkan oleh petunjuk Tuhan melalui RohNya dalam arah kepergian Paulus dalam pemberitaan Injil. Pernyataan Allah yang memperjelas tujuan hidup seseorang bukanlah hal yang baru dalam Kekristenan. Hal ini bukan saja ditemui dalam Kisah para Rasul atau Perjanjian baru tapi juga dalam Perjanjian Lama, yaitu ketika Tuhan memanggil Abram untuk tujuanNya (Kejadian 12:1), Ia berkata, “Pergilah dari negerimu….ke negeri yang akan kutunjukkan kepadamu”. Penyanggah memiliki sistim kepercayaan yang di dasarkan oleh perbuatan, usaha manusia dan langkah-langkahnya sendiri bukan perbuatanNya, inisiatifNya dan langkah-langkahNya. Nahkoda umat Kristiani adalah Tuhan. Dialah yang memiliki tujuan hidup kita bukan kita sendiri karena itu tiap langkah kita harus selalu bertanya kepadaNya, memiliki hubungan denganNya agar dia dapat mengarahkan langkah-langkah kita yang cenderung menyimpang dari jalanNya. Perhatikan! Iman Kristen bukan berdasakan perbuatan yang menghasilkan iman namun iman yang menghasilkan perbuatan. Ketiga, siapa penulis dan konteksnya. Kita tidak tahu apakah Paulus memakai catatan ketika dia khotbah atau tidak. Namun, dari teks ini jelas bahwa dia tidak memakai teks yang tersusun rapi. Penulis kitab ini adalah Lukas, bukan Paulus. Dialah yang mencari data dari kesaksian Para Rasul dan mencatat khotbah Paulus di berbagai tempat. Layaknya seorang artis atau pendeta yang bersaksi dari gereja satu ke gereja yang lain tidak setiap kata yang digunakan sama. Apakah kita selalu mensyaratkan seseorang untuk bersaksi dengan teks seperti pidato presiden yang di bantu oleh para staffnya?? Demikian pula jawaban bagi sanggahan kontradiksi antara Paulus dan orang-orang yang bersamanya ketika rebah ke bumi dalam Kisah 26:14 sementara dalam Kisah 22:5-7 ditulis seolah-olah hanya Paulus yang rebah, kemudian dalam Kisah 9:4-7 dinyatakan bahwa orang-orang yang bersamanya hanya terbungkam. Sebenarnya keterangan tersebut saling melengkapi dalam kesaksian Paulus di berbagai tempat. Konteks membedakannya karena Kisah 9:4-7 menceritakan kepada pembaca tentang awal pertobatan Paulus, sementara Kisah 22:5-7 Paulus sedang berbicara dengan orang Yahudi dan Kisah 26:14 merupakan pembelaan Paulus di hadapan Agripa. Perbedaan dalam cara penyampaian bukan serta merta berarti palsu namun kesaksian Paulus yang menggunakan konteks keberadaan pada saat itu, yaitu pendengarnya. Kesaksian Paulus pertama merupakan kesaksiannya pribadi kepada Lukas, kemudian kesaksiannya dalam pembelaan diri terhadap orang Yahudi dan pembelaan diri di hadapan Agripa dan orang-orang Romawi. Hal ini sama halnya dengan cara penyampaian pembicara di hadapan persekutuan pemuda yang berbeda ketika berbicara di P.A Wanita, khotbah Minggu dan acara khusus lainnya. Perpektif penyampaian yang sesuai konteks pendengarnya tidak merubah inti pesan yang di sampaikannya. Keempat, apa terjemahannya. Penyanggah menyatakan bukti lain tentang masalah dihapusnya potongan kalimat dalam Kisah 9:6 dengan membandingkan antara terjemahan King James Version dengan terjemahan C.E.V; E.S.V; Good News Bible dan Bahasa Indonesia sehari-hari. Ada kalimat yang dalam KJV, yaitu “And he trembling and astonished said, Lord, what wilt thou have me to do” tidak ditulis dalam terjemahan lainya. Perlu diketahui bahwa Alkitab tidak ekslusif hanya dalam bahasa Ibrani (PL) dan Yunani (PB) namun secara terbuka diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan terkadang terdapat negara yang tidak hanya memiliki satu terjemahan, seperti Amerika (United States). Tujuannya sebenarnya sederhana, yaitu mempermudah seseorang mendalami Firman Tuhan dalam bahasa mereka sendiri. Hal lainnya yang membuat kalimat tersebut tidak ada dalam terjemahan lainnya karena KJV tidak saja menterjemahkan dari bahasa Yunani namun juga bahasa Latin. Berikut keterangan dari sebuah website yang bertitle: The King James Bible Page, ‘The passage from verse six that reads, "And he trembling and astonished said, Lord, what wilt thou have me to do? And the Lord said unto him" is in the Old Latin, the Latin Vulgate, and some of the Old Syrian and Coptic versions. These phrases, however, are not found in the vast majority of Greek manuscripts and therefore do not appear in either the Critical Text or the Majority Text. Yet, they are included in the Textus Receptus. On the surface the textual evidence looks weak. Why, then, should the Textus Receptus be accepted over the majority of Greek witnesses at this point? Because the phrases are preserved in other languages, and the internal evidence establishes that Christ in fact spoke these words at the time of Paul's conversion and are therefore authentic.’ (http://av1611.com/kjbp/faq/holland_ac9_5-6.html) Teks dalam KJV justru menambah bukti adanya teks-teks yang disimpan dalam bahasa lainnya yang mendukung teks dalam bahasa Yunani dan bukan sebaliknya mempertentangkan apa yang tertulis. KJV memakai teks dalam bahasa Latin terjadi karena kedekatan sejarah dalam per-kembangan bahasa yang digunakan saat itu (bahasa yang popular digunakan setelah Yunani adalah Latin) dan penyebaran Injil yang kian meluas. Sebaliknya, saat ini banyak terjemahan tidak memakai teks dari bahasa Latin karena kepentingan sejarah diukur bukan pada per-kembangan dan penyebarannya tapi sumber awal bahasanya. Kelima, apa tata bahasanya. Penyanggah mengangkat Kisah 9:7 yang tertulis, “And the men which journeyed with him stood speechless, hearing voice, but seeing no man” sementara dalam Kisah 22:9 menyatakan, “And they that were with me saw indeed the light, and were afraid; but they heard not the voice of him that spake to me.” Pertama-tama saya ingin mengatakan bahwa ini bukan masalah yang baru untuk dipertentangkan. Sejak tahun 1993 (bukan baru disanggah pada tangggal 2 Agustus 2007) masalah teks ini dikemukakan salah satu dosen saya dalam kelas, namun jawaban sekilas saat itu tetap membuat saya penasaran dan mencari jawabannya. Permasalahan kekurang mengertian saya pada saat itu ternyata berada dalam kata-kata Yunani yang digunakan, yaitu “ten de phonen ouk ekousan“ pada Kisah 22:9 yang memiliki kasus genetive.dengan “ekoousen phonen“ pada Kisah 9:4 yang secara tata bahasa memiliki kasus accusative. W.E Vine dalam bukunya Expository Dictionary of Old and New testament menyatakan, “The former indicates a hearing of the sound, the latter indicates the meaning or the message of the voice (this they did not hear). The Former denotes the sensational perception, the latter (the accusative case) the thing perceived (Cremer). Kasus genetive digunakan dalam arti untuk perasa, untuk penciuman, untuk pendengaran, untuk merasakan. Sementara itu kasus accusative digunakan dalam arti sesuatu yang didengar. The accusative indicates the voice as a communicated message or thought, rather than as simply a sound vibrating against eardrum (W.W. Goodwin and C.B. Gulick). Jadi jelas bagi kita bahwa tujuan Tuhan Yesus bagi Paulus pertama-tama mendengar suara yang sama yang didengar oleh orang-orang yang bersamanya, namun suara Yesus berbicara secara langsung dan bukan suara yang dapat didengar oleh orang-orang yang bersamanya. Orang-orang yang mengikuti Paulus tidak dituliskan mendengar dalam kasus tata bahasa accusative. Demikian halnya dengan cahaya yang membuat mata Paulus buta sementara yang lainnya tidak. Jika kita memperhatikan perbedaannya jelas, “and they that were with me saw indeed the light” dengan “I could not see for the glory of the light” Gleason L. Archer menyatakan, There is an instructive parallel here between the in inability to hear the voiceas an articulated message and their inability to see the glory of the risen Lord as anything but a blaze of light. Acts 22:9 says that they saw the light, but Acts 9:7 makes it clear that they did not the see the Person who displayed Himself in the light. There is a clear analogy between these differing levels of perception in each case. Jikalau kita menggunakan imajinasi untuk menghidupkan cerita yang ada maka kita dapat membaca situasi yang telah terjadi. Contoh: Jika saya bertemu dengan lima orang yang berhadapan dengan saya, kemudian saya menyorotkan secara tiba-tiba lampu senter kearah wajah salah satu orang dihadapan saya. Apa yang terjadi adalah sinar tersebut dapat menyakitkan mata seorang yang saya senter tersebut sementara bias sinar diketahui oleh teman-teman disekelilingnya. Arah pasti datangnya sinar yang menyilaukan memampukan orang yang matanya terkena sinar menunjuk arah sinar itu datang dengan seketika. Bahkan, jika sinar itu terlalu terang maka orang tersebut akan mengarahkan tangannya yang terbuka ke depan untuk menghalau sinar tersebut. Sekarang kita dapat bandingkan jika penyataan Tuhan Yesus kepada Paulus didalam terang kemuliaanNya. Paulus jelas dimampukan untuk melihat sosok Pribadi di balik terang tersebut dan mendengar suaraNya. Kesimpulan dan saran Penulis tanggapan ini hanya ingin menegaskan bahwa pekerjaan fanatisme muncul ketika seseorang yang tidak tahu apa-apa tentang Alkitab mencoba mengungkapkan apa yang buruk di dalamnya. Fanatisme penyanggah dapat dilihat juga dari penggunaan kata ‘Kisah’ tanpa kata ‘Para Rasul’. Tulisan penyanggah sendirilah yang menjelaskan dirinya sendiri sebagai tukang edit. Bahkan, secara akademis penyanggah lebih tepat disebut sebagai plagiator. Penulis tetap menggunakan istilah yang dipersingkat oleh penyanggah karena menganggap bahwa keabsahan Alkitab atau ke-Rasulan murid Kristus tidak memerlukan pembelaan dalam kata-kata saja melainkan dari hati yang bersih. Penulis ingin memberi saran kepada tiap orang yang membaca tulisan ini agar merenungkan sejenak manfaat yang dapat diterima bahwa kekristenan di dasarkan bukan saja oleh kebenaran namun juga oleh fakta sejarah yang berlangsung di masa lampau, sekarang dan masa depan. Jadi iman terhadap kebenaran dan rasio terhadap fakta sejarah selalu berjalan dengan ber-iringan. Serangan apapun dalam dunia ini terhadap Kekristenan menjadikan kita semakin matang dan tidak tergoyahkan. Kiranya damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus (Filipi 4:7). John O.H. Sihombing Biblical Studies Teacher Bibliography Alkitab, Jakarta: LAI, 2001; Bible, New International Version (NIV); Bible, King James Version (KJV); Gleason L.Archer, The Encyclopedia of Bible Difficulties; W.E. Vine, Vine’s Expository Dictionary of Old and new Testament Words, Grand Rapids: Word Publishing, 1981 Spiros Zodhiates, The Complete Word study New Testament, Chattanooga: AMG Publishers Spiros Zodhiates, The Complete Word study Dictionary, Chattanooga: AMG Publishers The King James Bible Page: http://av1611.com/kjbp/faq/holland_ac9_5-6.html http://datakristen.blogspot.com/2007/08/kontradiksi-paulus-bertobat.html Sami Zaatari: (http:www.answering-islam.com/sami_zaatri/problemofPaul.htm)